Senin, 12 Juli 2010

WASPADA

emua orang telah mafhum, agama Kristen adalah agama misi. Tentang
hal ini diterangkan dalam kitab Bibel. “Kata Yesus: Karena
itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku doa baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19)

Dalam kitab Bibel itu juga, orang-orang Kristen dihalalkan menempuh
berbagai cara seperti menipu, pura-pura, berbohong dan lainnya agar
tujuan misi tercapai. “Tetapi hukum Taurat ditambahkan,
supaya pelanggaran menjadi semakin banyak, dan di mana dosa bertambah
banyak, di sana kasih sayang karunia menjadi berlimpah-limpah” (Roma
5:20)

Berpegang pada dua dalil itu, tak heran jika umat Kristiani sangat
giat menyebarkan misi kristenisasi ke seluruh dunia tak terkecuali
Indonesia.
Mereka pun tak sungkan-sungkan menjalankan cara-cara yang keji,
curang dan menjijikan kepada umat lain. Meskipun aturan tentang
penyebaran agama telah dibuat, namun orang-orang Kristen tak pernah mau
tunduk. Bahkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang tata cara penyebaran agama
di Indonesia, sering dilanggar.
Untuk itu, tak ada salahnya kita mengetahui cara, strategi dan taktik
yang dikembangkan mereka dalam memurtadkan kaum muslimin. Di bawah ini
dijelaskan beberapa taktik, strategi dan cara itu.
1. Pemurtadan dengan cara kawinisasi.


Sasaran utama gerakan pemurtadan ini, kebanyakan para muslimah. Untuk
menikah, seorang pria Kristen biasanya pura-pura masuk Islam. Setelah
menikah, pria itu lalu mengajak pindah ke agama Kristen. Seperti
perbuatan yang dilakukan Agus (nama samaran) kepada Dona (nama samaran).
Untuk menikahi Dona, Agus, pura-pura masuk agama Islam. Setelah nikah
dan dikarunia satu orang anak, Agus memaksa Dona pindah ke agama
Kristen. Meskipun sempat tergoncang, namun akhirnya Dona mampu lepas
dari jebakan busuk Agus.
2. Pemurtadan dengan cara diculik, dihamili dan dimurtadkan.


Sasaran utama cara ini kebanyakan juga para muslimah. Hampir mirip
dengan cara pertama, bedanya cara ini lebih kasar dan keji. Para
muslimah langsung diculik, disekap, diperkosa kemudian dibaptis. Selain
itu, otak para muslimah itu pun dicuci lantas dijejali doktrin Kristen
hingga akhirnya ia membenarkan ketuhanan Yesus. Contohnya kasus
penculikan, pemerkosaan dan pemurtadan siswi Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) Padang, Khairiyah Anniswah alias Wawah yang sempat membuat heboh
kota Padang beberapa waktu lalu. Setelah diculik, Wawah diberi obat
perangsang lalu diperkosa oleh seorang aktivis Kristen. Karena tak
berdaya, Wawah akhirnya di bawa ke gereja dan dibaptis.
3. Pemurtadan dengan cara menjanjikan pekerjaan, kursus atau
beasiswa.



Sasaran tembak mereka biasanya muslim dan muslimah lulusan SMP/SMU
yang mengalami kesulitan mencari pekerjaan atau kepada mereka yang tak
mampu. Para aktivis gereja biasanya langsung menjanjikan sebuah
pekerjaan dan beasiswa secara gratis asal mau pindah agama. Seperti
yang dialami Heryanto. Pemuda yang sehari-hari mengajar ngaji anak-anak
di Manado itu, ditawari Edi Sapto pekerjaan dan beasiswa kuliah di
Jakarta. Sampai di Jakarta, pekerjaan yang ditunggu-tunggu itu tak
kunjung datang. Heryanto malah dipaksa pindah agama Kristen dan
diwajibkan mengikuti acara gereja dan kebaktian. Kini Yayasan Dian Kaki
Mas yang dijadikan tempat pemurtadan itu, sedang digugat warga dan
aparat pemerintah setempat. Karena mereka merasa telah ditipu yayasan
Dian Kaki Mas. (Lihat tulisan Babak Baru Pemurtadan).
4. Pemurtadan berkedok kemanusiaan di desa-desa terpencil.


Cara pemurtadan seperti ini dilakukan kepada orang-orang tak mampu
sambil memberi sejumlah makanan pokok dan keperluan sehari-hari seperti
beras, mie instant, gula, minyak, pakaian, obat-obatan dan lainnya.
Bantuan itu terus dilakukan, sampai mereka merasa tergantung. Setelah
orang-orang tergantung, mereka baru mengatakan bahwa bantuan ini datang
dari Tuhan Yesus, kalau mau terus mendapatkan bantuan, mereka harus
pindah ke agama Kristen. Pemurtadan seperti ini banyak dijumpai di
daerah-daerah terpencil dan miskin seperti Gunung Kidul Yogyakarta,
Klaten, Kalimantan dan lainnya.
5. Pemurtadan berkedok ulama atau keluarga ulama.


Modusnya, seorang aktivis Kristen mengaku-ngaku sebagai mantan ustad
atau keluarga ulama terpandang yang kemudian murtad. Tujuannya, untuk
meragukan keyakinan umat terhadap Islam dan selanjutnya membenarkan
doktrin Kristen. Kasus ini pernah terjadi di Padang beberapa waktu lalu.
Pendeta Willy Abdul Wadud Karim Amrullah mengaku-ngaku sebagai adik
kandung Buya Hamka. Karena ulah pendeta Willy, tak sedikit yang percaya
dengan kesaksiannya. Namun, setelah diteliti, ternyata Pendeta Willy
bohong besar. Salah seorang putra Hamka menyatakan sepanjang hayatnya,
ia tak pernah mempunyai paman yang bernama Willy Abdul Wadud Karim
Amrullah.
6. Pemurtadan dengan cara penyebaran narkoba.


Narkoba dan obat-obat terlarang lainnya disebar mereka ke para pemuda
baik ke anak SD, SMP, SMU bahkan sampai mahasiswa. Mereka terus
menjejali obat haram tersebut hingga para pemuda harapan bangsa ini
menjadi tergantung dengan obat-obatan itu. Kalau sudah demikian, para
pemuda itu dimasukkan ke tempat rehabilitasi untuk disembuhkan dari
ketergantungan obat. Di tempat rehabilitasi itulah, para pemuda yang
kecanduan obat itu dicuci otaknya, dimasukkan doktrin-doktrin Kristen.
7. Kristenisasi terselubung dengan mendirikan sekolah-sekolah
teologi.



Sekilas lalu, sekolah-sekolah teologi ini memang tak ada masalah.
Kegiatan belajar-mengajar tak jauh beda dengan sekolah-sekolah tinggi
lainnya. Tapi, sejumlah pihak menyakini kristenisasi dijalankan secara
terselubung. Mereka mencontohkan Sekolah Tinggi Apostolos. Namun,
pengurus STT itu sendiri membantah adanya program kristenisasi. Tapi,
kalau dicermati lebih mendalam, dugaan adanya kristenisasi terselubung
itu ada. Konsentrasi STT Apostolos, pada studi islamologi dengan jumlah
mata kuliah sebanyak 36 SKS. Meliputi mata kuliah Pengantar Studi
Islam, Studi al Qur’an, Studi al Hadits, Filsafat Islam dan lainnya.
Bahkan, mereka juga mengundang sejumlah dosen berbagai perguruan tinggi
agama Islam. Seiring tujuan STT Apostolos untuk mencetak pemimpin
gereja masa depan yang mampu berdialog dengan dunia Islam, sejumlah
pihak menilai ada upaya lain untuk mengorek kelemahan Islam terutama al
Qur’an dan al Hadits.
8. Pemurtadan melalui surat-surat atau korespondensi.


Kristenisasi ini dilakukan melalui surat-menyurat. Surat itu berisi
sebuah buletin, mirip seperti buletin Islam yang sering dibagikan setiap
shalat Jum’at. Isinya membahas masalah perbandingan agama dengan
menitikberatkan pada pemutarbalikan tafsir al Qur’an dan al Hadits. Dari
ulasannya terkesan sekali mendukung doktrin ketuhanan Yesus. Biasanya,
surat itu hanya mencantumkan kotak pos. Menurut Sekjen FAKTA, Abu
Deedat, kristenisasi dengan gaya korespondensi ini bertujuan
mendangkalkan akidah umat Islam. Contohnya buletin “Habari Lo Ilomata”.
Setiap terbit, buletin ini mencoba mengaburkan keyakinan umat Islam
dengan cara membuat pertanyaan-pertanyaan yang menggiring untuk
mendukung ketuhanan Yesus. Pada terbitan Ilomata edisi nomor 11 tahun
2001, dikutip ayat al Qur’an Surah an Nur ayat 34, “Dan sungguh kami
telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang menerangkan dan sebagai
perumpamaan dari mereka yang terdahulu sebelum kamu .”, dari situ
dibuatlah pertanyaan-pertanyaan yang menggiring umat untuk mengakui
kebenaran Yesus. Pertanyaan itu, antara lain, kitab suci mana yang
dimaksud, yang menerangkan tentang orang-orang terdahulu sebelum Nabi
Muhammad Saw? Kemudian bagi mereka yang berhasil menjawab benar, akan
disediakan hadiah berupa Kitab Suci Injil. Tak hanya buletin Ilomata,
buletin serupa yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat misalnya
brosur “Rahasia Jalan ke Surga”, “Membina Kerukunan Umat Beragama”,
atau brosur-brosur Shirathal Mustaqim seperti “Keselamatan”, “Siapakah
yang Bernama Allah”, “Stop”, “Injil Barnabas”.
9. Pemurtadan dengan cara menerbitkan buku-buku Kristen tapi
berkedok Islam.



Menurut Tim Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA), ada dua
target yang akan dicapai dari penerbitan ini. Pertama, target ke dalam,
untuk meneguhkan ajaran Kristen seolah-olah ajaran kristenlah yang
paling benar. Kedua, target ke luar, untuk mengelabui umat yang masih
dangkal pemahaman agamanya agar mau membaca buku-buku itu kemudian
membenarkan ketuhanan Yesus. Mereka menyakini, umat Islam tak terlalu
curiga terhadap misi mereka. Pendeta-pendeta Kristen sangat produktif
membuat buku-buku seperti ini. Puluhan bahkan ratusan buku saat ini
disinyalir beredar ke tengah-tengah masyarakat seperti buku karya H
Amos alias Poernama Winangun “Upacara Ibadah Haji”, “Isa as dalam
Pandangan Islam”, “Riwayat Singkat Pusaka Peninggalan nabi Muhammad
Saw”, atau karya Danu Kholil Dinata seperti “Kristus dan Kristen di
Dalam al Qur’an”. Dan “Jawaban Atas Buku Bibel, Qur’an dan Science”,
Dialog Tertulis Islam-Kristen” karya Hamran Amrie.
10. Pemurtadan dengan meniru dan memakai idiom atau atribut Islam.


Pemurtadan dengan memakai atribut, dan idiom Islam tak asing lagi di
beberapa daerah seperti Yogyakarta, Jakarta, Minang, Sunda dan lainnya.
Tujuannya, agar kaum muslimin meragukan ajaran Islam dan mau mengakui
kebenaran doktrin Kristen. Di Kampung Sawah misalnya orang-orang
Kristen sudah terbiasa memakai atribut Betawi yang identik dengan
Islam. Laki-lakinya mengenakan kopiah dan sarung seperti orang Betawi
saat menjalankan shalat. Begitu juga yang perempuan, memakai kerudung
mirip none betawi habis pulang ngaji. Lain lagi di daerah jawa tengah,
mereka meniru adat kebiasan Islam seperti tahlilan, mengucapkan
assalamu’alaikum, pakai kopiah dan lainnya.
nah sudahkah lingkungsn kita menjadi korban…? lingkungan keluarga
kita…? atau teman teman kita…?
[b]atau
bahkan mungkin kita sendiri pernah atau masih menjadi korban…? akan
tetapi kita terlalu asik untuk “cuek” atau “masa’ bodo’ ” dengan apa
yang sedang kita alami……?

Sabtu, 10 Juli 2010

Menjawab Tuduhan Miring tentang Ka'ba

Blog  Entry

al-islahonline.com : Kalau ada seorang Muslim menyembah Ka'bah atau menjadikan Ka'bah sebagai sesembahannya, berarti Ia sudah murtad dan menjadi kafir. Di manapun, seorang Muslim harus menghadirkan Allah dalam hati sanubarinya.

Forum Arimatea menggelar suatu forum dialog antara teolog Muslim dan Kristiani di Gedung Kampus STEKPI, Kalibata, Jakarta Selatan, 19 Maret lalu. Hadir sebagai pembicara dalam orasi ilmiah dan dialog tersebut, antara lain: Habib Mohammad Rizieq Syihab, Lc, Ustadz Dr. Muslin Abdul Karim MA, dan Ustadz Solehan MC. Panitia penyelenggara mengatur tempat duduk peserta sedemikian rupa, di mana kelompok Nasrani duduk di bagian tengah, sedangkan kelompok Muslim ditempatkan pada sisi kiri dan kanan. Hal itu karena, mayoritas yang hadir kebanyakan dari kelompok Islam.

Yang menarik dari dialog tersebut adalah rasa kebersamaan kedua pemeluk agama (Islam-Kristen), di mana mereka sepakat untuk tidak mewarnai forum ini dengan sikap emosi atau sating menghujat satu sama lain. Peserta yang hadir, baik yang Muslim maupun Kristen / Katolik, sejak pagi hingga sore hari, duduk bersama, menjernihkan hati, akal dan pikiran untuk sama-sama mencari jalan kebenaran objektif, hakiki, dan sejati. Terlihat dari wajah yang hadir, antusiasme untuk saling mengkritisi pemahaman konsep ketuhanan dan ajaran kedua agama yang selama ini sering ditengarai menjadi salah satu pemicu konflik sosial di tataran grassroot penganut kedua agama.

Betapapun beberapa pertanyaan terdengar keras dilontarkan oleh beberapa peserta, baik Muslim maupun Kristen, terutama mengenai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, suasana persaudaraan masih tetap terjaga. Melalui dialog, pembicara maupun peserta dapat menyampaikan argumentasinya, atas dasar pendapatnya sendiri maupun referensi dari sejumlah buku yang dibacanya. Inti dari dialog tersebut, adalah mengajak peserta untuk menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah, yang secara jelas tercaritum di dalam kitab suci ketiga agama: Yahudi, Nasrani dan Islam, serta tidak membuat tuhan-tuhan tandingan yang memiliki kedudukan yang sama dengan kcdudukan Allah dalam kehidupan ini.

Bukankah dalam Injil, Yesus berkata: "Hukum yang terutama ialah: Dengarkanlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa." (Injil Markus 12:29). Atau "Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budi." (Matius 22:37). Sedangkan di dalam Al Quran jelas disebutkan, "Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNyasegalasesuatu..." (QS Al Ikhlas : 1-2)


Ka'bah = Berhala?
Yang menarik dari dialog ini adalah rasa ingin tahu para teolog Kristen yang besar untuk bertanya atau sekedar menguji pembicara untuk menjelaskan hal-hal yang menurutnya sangat bertentangan dan tak logis menurut konsep ketuhanan umat Nasrani. Misalnya saja, mereka mempertanyakan, kenapa umat Islam menyembah Ka'bah? Bukankah menyembah Ka'bah sama dengan menyembah batu? Atau kenapa Islam disimbolkan dengan bulan sabit? Apakah ini bentuk paganisme (keberhalaan) terhadap kebendaan? Meski ruang kebebasan berpikir dan berpendapat dalam forum ini diberikan kelonggaran, namun para penanya dari umat Nasrani tetap merasa tidak enak hati. Itulah sebabnya, mereka lebih dulu mohon maaf, bila pertanyaan yang dilontarkan dapat menyinggung perasaan umat Islam yang hadir.

Beberapa pertanyaan kritis itu dijawab oleh Habib Rizieq Syihab dengan tenang. lugas, dan tentu dengan bahasayang santun. Soai pertanyaan, kenapa Ka'bah yang dibuat dari batu dijadikan kiblat kaum Muslim" sehingga muncul tuduhan seolah-olah umat Islam menyembah batu? HabifrRizieq menjelaskan, bahwa umat Islam, kapan dan di mana pun berada, terutama saat munajat kepada Allah, makaselama hati mereka ikhlas untuk mencari Allah, tentu mereka akan mendapatkan Allah. Yang jelas, Allah tidak pernah memerintahkan kepada umat Islam ujituk menyembah Ka'bah.

"Sekali lagi, Ka'bah yang terbuat dari batu satna sekali tidak disembah oleh umat Islam. Karena itu, kalau ada seorang Muslim menyembah Ka'bah dan menjadikan Ka'bah sebagai sesembahannya, demi Allah, si Muslim tadi sudah murtad, kafir, keluar dari agamanya (Islam). Karenanya sebagai Muslim, ia harus menghadirkan Allah dalam hati sanubarinya. Jadi, sekalipun menghadap Ka'bah, dia sesungguhnya hanya menyembah Allah semata, bukan kepada Ka'bah yang terbuat dari batu," jelas Habib.

Tapi kenapa harus menghadap Ka'bah? Jawabnya sekali lagi, "karena Allah yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke Ka'bah, Perludicatat, sebelum umatlslam menghadap ke Ka'bah, tidak kurang dari 16 bulan, umat Islam menghadap ke Al Baitul Maqdis, yaitu menghadap ke Masjidil Aqsa, yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Karena perintah Allah untuk menghadap Baitul Maqdis, umat Islam pun menghadap ke Baitul Maqdis. Tapi 16 bulan kemudian, umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk berpindah arah, menghadap ke Ka'bah, Kenapa tidak ke tempat lainnya?

"Nah, inilah yang perlu diketahui," kata Habib Rizieq, "bahwa di dalam sejarah umat manusia dan para nabi, Ka'bah yang ada saat ini dan yang disaksikan oleh umat manusia seluruh dunia, tidak lain adalah satu tempat yang dulu dibangun oleh Bapak para nabi, seorang manusia yang begitu muliadan dihormati oleh pelbagai umat beragama. Beliau adala'h Khaliluilah Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim membangun Ka'bah, karena memang diperintahkan oleh Allah. Lalu, Ka'bah dilestarikan oleh putranya Ismail a.s hingga ke zaman Nabi Muhammad SAW, Pada saat Nabi Ibrahim, Ka'bah merupakan suatu tempat yang suci, bersih dari kemusyrikan."

"Begitu roda sejarah berputar," lanjut Habib Rizieq, "kemudian muncullah orang yang menyimpangkan ajaran Nabi Ibrahim yang hanif. Akhirnya mereka meletakkan berhala-berhala di sekitar Ka'bah. SampSi tiba masanya.Jahirlah Muhammad SAW sebagai keturunan dari Ismail as, untuk mengemban tugas dari Allah: membersihkan Ka'bah dari segala berhala dan kemusyrikan. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW membawa hasil yang menggembirakan, di mana seluruh berhala, baikyang ada di dalam Ka'bah maupun di luar Ka'bah, bahkan yang ada di seluruh kota suci Makkah, berhasil dihancurkan. Sampai kemudian, Ka'bah kembali pada kesuciannya dari kemusyrikan, sebagaimana permulaan Ka'bah dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s."

"Yang ingin saya tekankan, kenapa harus Ka'bah yang dipilih? Karena Ka'bah memiliki nilai historis yang luar biasa, yakni nilai historis seorang Bapak para Nabi, Ibrahim a.s yang diakui kenabiannya, kerasulannya, keutamaannya, dan keistimewaanya, baik oleh umat Yahudi maupun umat Nasrani, terlebih oleh umat Islam itu sendiri. Jadi, kenapa Ka'bah yang dipilih. Itu tak lain, karena keta'ziman wa taqriman, yaitu sebagai penghormatan yang diberikan oleh Allah SWT, terhadap hasil kerja Nabi Ibrahim dengan kedua tangan sucinya, juga dari hasil kerja Nabi Ismail yang menjaga dan melestarikan Ka'bah. Dan Allah menginginkan agar Ka'bah tetap suci, dan tetap bersih dari kemusyrikan sampai hari kiamat nanti."

Jawaban tak kalah penting tentang kenapa umat Islam diperintahkan untuk menghadap Ka'bah? Menurut Ketua Front Pembela Islam ini, "Itu, agar umat Islam setiap harinya, dan setiap detik hidupnya terus memperhatikan kelestarian Ka'bah. Tegasnya, segala waktunya, tenaga dan kemampuannya dicurahkan untuk menjaga Ka'bah, sehingga tidak lagi dikotori, dan dicampuri oleh kebatilan dan kemusyrikan. Alhamdulillah 15 abad berlalu, dari zaman Nabi Muhammad SAW, sampai saat ini, tak satu pun tangan kotor yang mengisi Ka'bah dan kota Makkah dengan berhala."

Andai Ka'bah bukan menjadi Kiblat umat Islam, apa yang terjadi? Bisa Jadi umat Islam akan kurang pengorbanan dan perhatiannya terhadap Ka'bah. "Saya bisa buktikan, dulu saat Baitul Maqdis menjadi kiblat umat Islam, maka keberadaannya selalu diperhatikan, dijaga dan dipelihara. Tapi manakala Baitul Maqdis, sudah tidak menjadi kiblat umat Islam, kenyataaan yang terjadi, perhatian umat Islam terhadap Baitul Maqdis sudah mulai berkurang. Hingga Baitul Maqdis dikuasai oleh orang lain, orang Islam sepertinya tidak punya perhatian dalam menyatukan potensi dan kekuatannya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari intimidasi dan terror yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam,"papar Habib.


Bulan Sabit = Paganisme?
Salah satu hikmah yang bisa dipetik, kenapa umat Islam menyembah Ka'bah adalah adanya sarana edukasi luar biasa dari Allah, di mana umat Islam diajarkan untuk menyatukan visi dan misi, serta langkah perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah setiap saat. Dalam langkah itulah, ada satu tujuan yang sama, yakni: mencari keridhaan Allah semata. Ibadah haji yang dilakukan umat Islam dengan mengelilingi Ka'bah, bukan dimaksudkan untuk menyembah Ka'bah, tapi sebagai isyarat kepada hamba-Nya, bahwa apa pun suku dan bangsanya, kedudukan dan jabatannya, umat Islam dididik untuk rela menanggalkan pakaian dan perbedaan di antara mereka, juga menanggalkan pertikaian dan permusuhan di antara sesamanya. Intinya, mereka menuju titikyang sama, yakni keridhaan Allah. Maka tidak pernah ada ritual dalam Islam yang mengajarkan umatnya untuk menyembah Kab'ah.

Adapun yang berkaitan dengan bulan Sabit, Islam seolah mengelu-elukan bulan, dan terkontaminasi dengan faham mereka yang menyembah bulan. Habib Rizieq menjelaskan lebih jauh. Pada dasarnya Islam mengajarkan umatnya utuk memuliakan seluruh makhluk ciptaan Allah, apakah matahari, bulan, bumi ataupun bintang. Jadi tidak ada yang mewajibkan umat Islam menggunakan lambang berbentuk bulan. "Buktinya, anda bisa lihat sendiri, salah satu organisasi terbesar di Indonesia, seperti Muhammdiyah lambangnya tidak menggunakan bulan, tapi matahari. Begitu juga identitas FPl yang saya pimpin, tidak menggunakan bulan, tapi bintang dan tasbih. NU pun demikian, yang dipakarbukan bulan, tapi bumi dan bintang sembilan."

Jadi tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa umat Islam selalu identik dengan bulan. Artinya, kalau ada masjid tanpa ada sentuhan bulan dan bintang pun tetap berfungsi sebagai masjid, "Islam sendiri, tidak terpaku dengan lambang-lambang ataupun simbol-simbol. Kalaupun diperlukan, itu hanya sebatas identitas diri, bukan tujuan untuk mengkultus, menyembah, apalagi sampai mengkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran dan peng ajaran-pengajaran paganisme (keberhalaan)."

"Nah, kalau saja ada umat Islam menyembah bulan, demi Allah orang itu sudah mempersekutukan Allah dengan bulan. Itu artinya, orang itu sudah murtad, kafir dan keluar dari Islam," tandas Habib tegas. (Amanah)

Selasa, 15 Juni 2010

Sejarah Pengumpulan al-Qur’an: Jawapan Kepada Pengkritik


Misionaris Kristian di dalam artikel mereka telah membuat dakwaan bahawa al-Qur’an adalah tidak sempurna pengumpulannya. Setelah meneliti secara sepintas lalu artikel tersebut, didapati semua itu hanyalah dendam dan dengki musuh-musuh Islam terhadap Islam. Dalam usaha menyangkal tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam itu, selain dari mengguna-pakai hujah-hujah para ulama Islam, kita juga boleh menggunakan hujah sesetengah orientalis Barat yang mengkaji perkara ini dan mengakui kebenarannya. Barangkali dengan ini, hujah musuh-musuh Islam lebih senang disangkal.Sebelum itu, perlu diingatkan tidak semua Orientalis mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk menghina Islam. Ada juga mereka yang mengkaji dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Hal ini memang telah terbukti.

Berhubung masalah yang dikemukakan di atas, kita mengambil apa yang telah ditulis oleh Sir William Muir dalam “The Life of Mohammad”, supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan al-Qur’an itu dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut agama Kristian yang teguh dan juga berdakyah untuk agamanya. Walaupun ia seorang orientalis, dia tidak membiarkan setiap orang mengambil kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi s.a.w. dan al-Qur’an.

Ketika berbicara tentang Qur’an, Sir William Muir menulis seperti berikut.

Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bahagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunnah, yang dalam erti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunnah pertama yang sudah merupakan konsensi. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu penghafal al-Qur’an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Ada di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudahkan pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima al-Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemahuan yang luar biasa hendak menghafal al-Qur’an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui daripada Nabi sehingga waktu mereka membacanya itu.

Sebab al-Qur’an Ditulis Semula

Semasa Sayyidina Uthman bin Affan menjadi Khalifah pengaruh Islam telah berkembang luas. Islam telah sampai ke Afrika Utara di barat dan hingga ke Azarbaijan di timur. Ini bermakna telah begitu ramai orang yang bukan Arab memeluk Islam. Keadaan ini memerlukan ramai guru yang boleh membaca al-Qur’an dan memahami Islam dengan baik untuk mengajar orang yang baru memeluk Islam. Beberapa orang sahabat telah dihantar ke tempat-tempat tertentu untuk mengajar al-Qur’an.

Masing-masing tempat membaca al-Qur’an mengikut bacaan sahabat yang mengajar mereka. Dengan ini timbul sedikit perbezaan dari segi bacaan dan sebutan huruf al-Qur’an di antara tempat-tempat tersebut. Di Sham contohnya, mereka membaca mengikut bacaan Abdullah bin Mas’ud. Di tempat lain pula membaca mengikut bacaan Abu Musa al-‘Asya’ariy.

Keadaan ini hampir-hampir menyebabkan berlaku permusuhan dan persengketaan di antara saudara-saudara baru Islam. Masing-masing mengatakan bacaannya yang betul menyalahkan orang lain. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yaman yang bersama-sama dengan orang Sham dan Iraq dalam peperangan di Armenia dan Azarbaijan melihat sendiri keadaan itu. Sekembalinya ke Madinah, beliau terus pergi berjumpa Khalifah Uthman bin Affan dan menceritakan hal tersebut.

Beliau mencadangkan supaya khalifah menulis semula al-Qur’an dalam beberapa naskah untuk dihantar ke bandar-bandar besar supaya semua orang Islam dapat membaca al-Quran dengan satu cara yang sama. Khalifah bersetuju dengan cara itu dan seterusnya menubuhkan panitia untuk menulis al-Qur’an. Al-Qur’an yang ditulis semula inilah yang dinamakan Mushaf Uthmaniy.

Dalam bahasa yang mudah, sebab al-Qur’an ditulis semula ialah untuk menyelamatkan umat Islam dan juga al-Qur’an itu sendiri. Selain itu bertujuan agar semua orang Islam membaca al-Quran dengan satu cara bacaan sahaja, melainkan bagi orang-orang yang belajar membaca al-Qur’an dengan Tujuh Huruf, maka mereka boleh membacanya dengan berbagai-bagai Qira’at dengan syarat-syarat dan kaedah-kaedah tertentu.

Persatuan Islam Zaman Uthman

Maka yang sampai kepada kita adalah sekarang adalah Mushaf Uthman. Begitu cermat penjagaan al-Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati - bahkan memang tidak kita dapati - perbezaan apapun daripada naskah-naskah yang tidak terhitung banyaknya, yang tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam yang luas ini. Sekalipun akibat terbunuhnya Uthman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun al-Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi al-Qur’an bagi semuanya.

Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah dan usaha murni Sayyidina ‘Uthman bin Affan.

Di seluruh dunia ini tiada sebuah kitab pun selain al-Qur’an yang berbelas-belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan rapi. Adanya cara membaca yang berbeza-beza itu sedikit sekali sampai menimbulkan kehairanan. Perbezaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara penyebutan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tidak ada hubungannya dengan Mushaf Uthman. Sekarang, sesudah ternyata bahwa al-Qur’an yang kita baca ialah teks Mushaf Uthman yang tidak berubah-ubah.

Perbincangan berikutnya, adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbezaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita amat meyakinkan, bahawa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Uthman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah al-Qur’an demi kepentingannya.

Memang benar, bahawa Syi’ah kemudian menuduh bahawa Uthman mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawiy dengan pihak Alawiy (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tiadalah maksud-maksud tertentu yang akan mendorong Uthman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu. Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal al-Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Uthman mengumpulkan mushaf itu.

Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menyokong usaha menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Uthman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai pengganti. Dapatkah diterima akal — pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan — bahawa mereka akan menerima al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun bahawa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahawa ada beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.

Memang benar bahawa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena ‘Uthman telah mengumpulkan al-Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushaf Uthman. Jadi tentangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah ‘Uthman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak seorang yang menunjukkan adanya usaha mengubah atau menukar isi al-Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha untuk merosakkan secara terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahawa Mushaf Uthman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpancar-pancar di seluruh daerah itu.

Mushaf Uthman Cermat Dan Lengkap

Sungguhpun begitu, masih ada suatu persoalan penting iaitu adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad?

Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu.

Pertama: Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakar al-Siddiq. Sedangkan Abu Bakar seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Dia juga adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber al-Qur’an; orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama 20 tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafah dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala buruk. Ia beriman bahawa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafahnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tidak ada perbezaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahawa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tiada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah.

Dalam al-Qur’an terdapat peringatan-peringatan bagi sesiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas fikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.

Kedua: Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada sekumpulan ahli-ahli al-Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam untuk melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalami ilmu agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf itu, tapi juga mempunyai segala kerjasama yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.

Ketiga: Kita juga mempunyai jaminan yang lebih kuat dipercayai tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bahagian-bahagian al-Qur’an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan al-Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya.

Maka amat logik kita mengambil kesimpulan bahwa semua yang terkandung dalam bahagian itu, sudah mencakupi. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah sengaja membuang sesuatu bahagian, atau sesuatu ayat, atau kalimat, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeza dengan yang ada dalam mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Dalam erti kata lain, dalam Mushaf Uthman tidak ada sesuatu yang diabaikan, sekalipun yang kurang penting.

Keempat: Isi dan susunan al-Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bahagian-bahagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.
Tiada tangan yang cuba mahu mengubah atau mahu memperlihatkan kebolehannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penulis dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani mengambil ayat-ayat suci itu melebihi daripada yang apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.

Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah bahawa Mushaf Zaid dan Uthman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan — seperti beberapa kejadian menunjukkan — penghimpunnya tidak bermaksud mengabai apa pun dari wahyu itu. Kita juga dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahawa setiap ayat dari al-Qur’an itu, memang sangat teliti sekali seperti yang dibaca oleh Muhammad.

Inilah pandangan Sir William Muir seperti yang disebut dalam kata pengantar “The Life of Mohammad” (m.s. xiv-xxix). Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebut tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sependapat. Secara positif, mereka memastikan tentang persisnya al-Qur’an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahawa semua yang dibaca oleh Nabi Muhammad s.a.w adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Allah s.w.t.

Kalau ada sebagian kecil kaum Orientalis atau Kristian berpendapat lain dan beranggapan bahawa al-Qur’an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logik yang dikemukakan oleh Muir tadi dan sebahagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad s.a.w.

Betapa pandainya si pengkritik menyusun tuduhannya, namun mereka tidak akan dapat menafikan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan cara ini, mereka tidak akan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terhasut oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

APAKAH SANG ISTRI AKAN BERTEMU KEMBALI DENGAN SUAMINYA DI SURGA..??


Ustadz kondang di Bandung, bp. Athian Ali, pernah menyampaikan dalam satu kesempatan ceramahnya, sering pertanyaan ini disampaikan oleh ibu-ibu majelis taklim :”Apakah saya bisa kembali bertemu dan hidup bersama suami saya di surga nanti..??”, sambil tertawa meledek pak ustadz lalu melanjutkan bahwa sudah puluhan tahun dia menjadi ustadz, belum pernah sekalipun ada pertanyaan yang sama datang dari bapak-bapak. Tentu saja hal ini kemudian mengundang ketawa para pendengarnya, terutama para bapak-bapak yang hanya bisa nyengir. Pertanyaan ini juga berkaitan dengan ‘serangan-serangan’ yang dilakukan oleh netters Kristen di forum ini :”Ketika laki-laki Muslim disediakan 72 bidadari di surga, lalu wanitanya bisa apa..??, apa cuma bengong melihat kaum laki-lakinya ‘berpesta-pora’..??. Terdapat kesamaan antara pertanyaan yang diajukan oleh ibu-ibu majelis taklim tersebut dengan apa yang digugat oleh netters Kristen, sekalipun dengan sudut-pandang yang berbeda. Persamaannya adalah : keduanya sama-sama menilai kondisi yang ada di akherat berdasarkan apa yang mereka alami di dunia, sedangkan perbedaannya, bagi ibu-ibu majelis taklim, pertanyaan didasari oleh kecintaan mereka kepada suami-suami mereka, sedangkan pertanyaan dari netters Kristen berdasarkan sikap dengki dan sinis terhadap ajaran Islam.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa hubungan antar manusia di akherat kelak berbeda dengan apa yang ada di dunia ini :

[23:101] Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.


Di dunia ini kita harus menjalani kehidupan dengan ikatan yang saling kait-berkait dengan individu lainnya, kita terlahir dari rahim seorang ibu yang mengandung karena dibuahi oleh seorang ayah, maka otomatis kita sudah terlahir mempunyai orang-tua, lalu dari hubungan anak dan orang-tua tersebut muncul hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh ajaran agama. Demikian pula ketika kita beranjak dewasa dan sudah cukup umur, kita lalu menikah, maka hubungan pernikahan tersebut membuat kita terkait dengan individu lain yang juga memunculkan adanya hak dan kewajiban yang diatur oleh ajaran agama. Hubungan tersebut diciptakan Tuhan dengan dibungkus oleh perasaan : antara cinta dan benci, terpaksa dan sukarela, suka dan tidak suka, semuanya berproses silih berganti yang menjadi dasar adanya dinamika peradaban manusia. Lalu disaat Tuhan membangkitkan semua manusia diakherat untuk diminta pertanggung-jawabannya terhadap apa yang dilakukan mereka sehubungan dengan hak dan kewajiban dunia tersebut, maka semua ikatan termasuk perasaan yang melandasinya akan dihapus. Jangan anda kira ketika anda sebagai seorang ayah/ibu yang sedang dituntut atas segala perbuatan anda di dunia, lalu anak-anak anda akan melakukan pembelaan karena ‘tidak tega’ melihat anda diadili, demikian pula sebaliknya. Semua individu akan mempertanggung-jawabkan diri mereka sendiri :

[6:94] Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).


Bukan cuma manusia lain yang dulunya punya hubungan nasab dengan kita, bahkan sesuatu yang kita jadikan sandaran kita di dunia juga tidak bisa berbuat apa-apa, sandaran tersebut bisa berbentuk : Tuhan yang lain, atasan, penguasa, guru, kiyai, pendeta, dll, semuanya menghadap Allah mengurus diri sendiri. Bahkan bisa saja terjadi, seorang anak yang di dunia telah kita terlantarkan, atau seorang istri yang tidak pernah kita didik untuk patuh dan taat kepada Allah, bersaksi terhadap segala kezaliman kita tersebut, dan kesaksian mereka akan menyeret kita masuk neraka.

[16:111] (Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi tiap-tiap diri disempurnakan (balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya (dirugikan).


Bagaimanakan cara kita menggambarkan perasaan dan ikatan kita satu sama lain nantinya di akherat..?? apakah kita bisa membayangkan perasaan kita terhadap anak kita yang saat ini kita sayangi, atau suami/istri yang kita kasihi, ketika nanti dikaherat semua perasaan tersebut sudah dihapus..??. Sebenarnya apa yang diinformasikan oleh Al-Qur’an ini bisa kita jelaskan melalui akal sehat kita. Kalaulah perasaan yang melandasi hubungan kita satu sama lain di dunia masih berlaku di akherat kelak, maka seorang ayah/ibu yang masuk surga tidak akan merasa nyaman dan tenteram disana ketika ternyata anaknya bernasib sial masuk neraka, demikian pula sebaliknya, bagaimana mungkin seorang istri yang sangat mencintai suaminya ‘sampai ke pojok surga’ bisa hidup bahagia ketika mengetahui ternyata si suami yang didambakan dijebloskan di neraka..??. Maka keputusan Allah untuk menghilangkan hubungan nasab dan perasaan yang melandasinya di akherat tersebut merupakan suatu keniscayaan dan bisa diterima akal sehat kita, karena memang demikianlah seharusnya. Allah menjelaskan bagaimana perasaan manusia nanti di surga :

[7:43] Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka;
[15:47] Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.


Tidak ada lagi perasaan tersinggung, cemburu, sakit hati terhadap perilaku penghuni surga yang lain.

Al-Qur’an menyuruh kita untuk berpikir soal ini dengan cara memperbandingkannya dengan kehidupan kita di dunia :

[56:60] Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan, [56:61] untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui. [56:62] Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)?


Ayat tersebut menginformasikan bahwa bagaimana persisnya keadaan kita di akherat kelak merupakan suatu yang tidak bisa kita bayangkan karena belum pernah ada bandingannya di dunia ini. Ibarat kita menyodorkan kalkulator kepada masyarakat primitif, mereka tentu saja punya alat untuk melakukan penghitungan seperti batu dan ranting kayu, lalu ketika diberikan kalkulator untuk melakukan penghitungan, maka pastilah mereka akan kebingungan karena buat kaum primitif, kalkulator merupakan benda ‘yang tidak pernah terbayangkan’ sebelumnya, sekalipun kalkulator merupakan penyempurnaan dari sarana berhitung yang ada pada mereka. Demikian juga dengan manusia, saat ini kita punya tubuh dan pranata/sistem yang kita kenal dalam menjalani kehidupan, apakah kita mampu membayangkan bagaimana persisnya bentuk tubuh dan sistem kehidupan yang merupakan penyempurnaan dari apa yang kita miliki saat ini..?? Namun secara cerdas, ayat Al-Qur’an tersebut menggiring kita untuk memikirkannya, ketika Allah menyatakan ‘Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran’, artinya Allah menyuruh kita untuk melihat perumpamaannya. Kita bisa membayangkan kalau seandainya kita dilahirkan kembali ke dunia, memulai lagi proses kelahiran dari rahim seorang wanita, lahir, menjadi bayi dan tumbuh dewasa, apakah kita akan berusaha mengulangi kembali kehidupan kita yang dahulu..?? apakah kita akan mencari-cari istri yang kita cintai pada kehidupan terdahulu..?? apakah kita akan berusaha kembali mengumpulkan anak-anak yang kita sayangi dulu..?? Apakah kita akan 'dibakar api cemburu' ketika tahu istri kita dahulu yang telah menitis kepada sosok yang lain ternyata menemukan jodohnya yang lain pula, atau marah-marah melihat anak kita di kehidupan terdahulu ternyata menitis menjadi anak orang lain..?? Anda juga bisa memakai perumpamaan ini untuk periode sebaliknya, jika kehidupan anda saat ini adalah titisan dari hidup anda sebelumnya, apakah saat ini anda sedang mencari-cari dimana istri anda dulu..?? atau berusaha menemukan ayah-ibu anda dahulu..??

Tentu saja tidak demikian, kita akan berproses sesuai jalur kehidupan yang sudah ditentukan, mencari jodoh sesuai takdir kita, melahirkan anak yang berbeda. Demikianlah desain hidup kita dahulu, maka itu juga yang berlaku bagi kita pada kehidupan selanjutnya.

Perintah untuk berpikir melalui perumpamaan tersebut sebenarnya sudah bisa memberikan gambaran bagaimana nantinya kita di akherat terkait hubungan antara manusia, bahwa kita akan menjalani kehidupan yang baru sebagai bentuk penyempurnaan kehidupan kita di dunia..

Jadi bagi ibu-ibu majelis taklim, jangan khawatir terhadap suami anda nantinya, apakah masih bersama anda atau sudah ‘dibajak’ oleh para bidadari. Yang sebaiknya anda lakukan adalah mendo’akan suami dan anak-anak agar mereka selalu dilindungi Allah dan mendapat kebaikan kelak di akherat, memastikan apakah suami dan anak-anak selalu bisa menjalankan apa yang diperintah oleh Allah, disamping tetap berusaha untuk memperbaiki diri terus-menerus, menjadi istri yang salehah. Suami dan keluarga adalah sarana anda untuk berbakti kepada Allah, menjadi ‘medan tempur’ yang bisa anda manfaatkan untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya. Mencintai suami sepenuh jiwa dan raga tentu saja merupakan sikap yang mulia, namun hal tersebut tetap harus dikaitkan dengan kecintaan anda kepada Allah semata. Bagi netters Kristen yang sinis dan dengki, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjawab dan menghapus penyakit yang ada dalam hati anda dalam melihat kebenaran dan keagungan ajaran Islam, bahwa pertanyaan yang selama ini anda ajukan, hanya datang dari kebekuan hati sehingga tidak mampu lagi menuntun pikiran anda melihat persoalan secara jernih.

KESAKSIAN BAHWA ALQUR'AN TIDAK PERNAH MENGALAMI PERUBAHAN - ALQUR'AN TETAPLAH ASLI

Sebuah pernyataan dan kesaksian bahwa Al-Quran tidak mengalami perubahan

(dikutip dari SEJARAH HIDUP MUHAMMAD oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL)

Pertanyaan kritis: Mengapa AlQuran tidak dibukukan (dijadikan sebuah kitab) sejak masa Muhammad SAW?

Soal mengapa atau kenapa ini harus dipahami dulu konteksnya bahwa adalah dengan alasan/urgensi apa sesuatu itu harus dibukukan jika isi AlQuran dari A sampa Z sudah melekat di otak dan di hati banyak orang Islam? Lagi pula tidak ada kebiasaan menulis saat itu. Orang yang pandai menghapal memiliki pengaruh dan kedudukan terpandang di dalam masyarakat saat itu.

Kalau sesuatu itu sudah dihapal diluar kepala dan diamalkan sehari-hari untuk apalagi ditulis? AlQuran dibaca sebagai tadarusan tiap malam dan dibaca dalam shalat yang panjang-panjang bacaannya, bahkan ada yang tamat/khatam membaca Quran dalam satu hari saja, kemudian isinya diamalkan sehari-hari..

Apakah tidak takut lupa?

Dalam masa-masa wahyu diturunkan maka Allah SWT dan nabi SAW mengadakan berbagai cara agar ayat-ayat tersebut tidak terlupakan, yaitu misal memberikan bonus bagi yang hapal alQuran, menjadikan bacaan dalam shalat, mengulang/repitisi dua kali dalam setahun untuk ayat-ayat Quran dan berbagai cara lainnyas sehingga akhirnya orang-orang Islam dapat menghapal Quran hingga diluar kepala. Silahkan simak bagian kedua dari artikel ini (next article, next) dalam daftar isi untuk memahami penjelasan akan hal ini.

Kemudian dalam generasi selanjutnya, yaitu sesudah generasi pertama (orang-orang pertama yang hapal AlQuran diluar kepala) banyak dari orang-orang Islam, seperti misalnya Ibnu Taimiyah telah sanggup hapal seluruh isi AlQuran pada umur 10 tahun, imam Bukhari hapal ribuan hadis. Jadi untuk apalagi ditulis? Intinya sesuatu itu ditulis jika perlu ditulis atau tidak ditulis jika tidak perlu ditulis, dan tidak perlu ditulis kalau memang tidak ada urgensi atau kepentingan yang menyebabkan atau mendasarinya...Mari kita tengok ayat dalam Bibel:

  • yohanes 1:1-14

    1:1. Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 1:2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. 1:3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. 1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia...1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,

Alquran adalah firman Allah yang telah menyatu pada manusia pada generasi-generasi awal umat Islam, sehingga umat Islam atau Muhammad SAW tidak pernah diperintahkan untuk membukukan AlQuran. Namun bukannya tulisan-tulisan suci (firman Allah) itu tidak ada (telah juga ditulis misal diatas batu, diatas tulang, diatas daun lontar, dll karena kertas baru dikenal secara umum pada abad-abad selanjutnya), hanya belum dibukukan menjadi apa yang dikenal sebagai kitab suci karena kenyataannya firman Allah telah menyatu kepada manusia...:)

Kemudian dari sisi teknis sendiri penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master volume) akan menjadi suatu tantangan berat karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman saja akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum nabi Muhammad wafat. Akan tetapi dengan wafatnya nabi Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke dalam satu jilid.

Daniel A Madigan salah seorang orientalis memberikan sebuah pendapat yang cukup bagus tentang hal ini:

"Istilah kitab menjadi berbahaya ketika dipahami sebagai sesuatu yang tetap dan statis sebagai sebuah buku. Bagi sebagian orang-orang yang beriman, klaim implisit kepada totalitas dan kesempurnaan di dalam kata `buku' menjadi dasar kepada fundamentalisme yang mengedit (kata tersebut) untuk mengambang dari hikmah tradisi yang berkembang. AI-Qur'an tidak mengizinkan konsepsi petunjuk Ilahi yang terbatas seperti itu. Sebaliknya, bagi para pemerhati Islam, gagasan buku ini, teks yang terbatas ini, yang mengklaim sebagai totalitas dari kalam llahi kepada manusia hanya menampakkan kesombongan."

Mengembangkan lebih jauh isu mengenai kompilasi Al­Qur'an dalam sebuah kitab, Daniel berpendapat bahwa makna kitab di dalam Al­Qur'an bukan merujuk kepada sebuah mushaf ataupun buku. Dalam pandangannya, kitab Al-Qur'an bukanlah sebuah buku yang umumnya diterima dengan makna mushaf tertutup. Ia lebih merupakan simbol dari sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berterusan-keterlibatan yang kaya dan beragam, namun langsung dan spesifik di dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat dipahami di dalam sebuah kanon yang tetap atau terbatas kepada diantara dua sampul.

Setidaknya pendapat ini dapat mewakili bahwa memang tidak ada suatu alasan yang membuat Al-Qur'an harus dibukukan pada masa Rasulullah SAW karena tradisi lisan merupakan sumber informasi yang banyak dipakai atau digunakan dalam masyarakat di masa-masa terdahulu. (Info terkait: answering wikiislam.com)


MENGAPA ALQURAN TIDAK DITURUNKAN SEKALIGUS JADI

  • Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS. 25:32 )

AlQuran itu tidak sekedar suatu kitab untuk dibaca, akan tetapi juga menjadi bacaan dalam shalat. Karena itu harus diturunkan pelan-pelan seperti seorang siswa yang belajar bahasa Inggris disekolahnya supaya mudah dihapal, diresapi dan dipraktekkan. Hal seperti ini yang tidak didapati dalam keyakinan dan ritual Nasrani dan Yahudi dan dikomplain banyak orang di forum FFI.

Hikmah diturunkan Al Quran secara berangsur-angsur:

1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari diriwayatkan oleh Aisyah.

2. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga akan mengesankan dan lebih berpengaruh dihati.

3. Memudahkan penghafalan.

4. Adanya hal-hal nasikh mansukh.

5. Diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban dari pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau AlQuran diturunkan sekaligus.

Dan hal-hal ini tidak dapat dibandingkan dengan Taurat yang diturunkan langsung jadi tapi hasilnya malah kaumnya sendiri (bani Israel) bukan menjadi kaum yang paham kitab (yang diturunkan langsung jadi) tetapi menjadi kaum yang hipokrit dan tidak mengamalkan ajaran kitabnya. Bahkan dalam Injilpun kitab-kitab seperti Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes ditulis satu abad setelah diangkatnya Yesus.

Ada lagi yang mempermasalahkan bahwa nabi SAW menerima wahyu (Quran) tidak ada saksi. Memang benar untuk wahyu pertama, akan tetapi untuk wahyu-wahyu berikutnya banyak orang yang tahu bahwa nabi sedang menerima wahyu, yaitu saat melihat tubuh beliau mengalami seperti kejang atau berkeringat (firman Allah sedang menyatu dalam tubuh manusia). Apakah juga ada saksi bahwa Musa selama 40 hari dibalik awan mendapat inspirasi dari TUHAN atau dari setan-setan? Meski Musa berangkat dengan Yosua, tidak ada indikasi dalam ayat-ayat bahwa Yosua ikut juga menemani Musa dibalik awan selama 40 hari.

  • keluaran 3:2

    Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api.

Mana saksi bahwa Musa benar-benar ditemui oleh malaikat? Tidak ada yang melihat bukan?

Hal ini sama dengan yang dialami oleh nabi SAW:

  • Sahih Bukhari Volume 4, Book 55, Number 605:
    Narrated 'Aisha:
    The Prophet returned to Khadija while his heart was beating rapidly. She took him to Waraqa bin Naufal who was a Christian convert and used to read the Gospels in Arabic Waraqa asked (the Prophet), "What do you see?" When he told him, Waraqa said, "That is the same angel whom Allah sent to the Prophet) Moses. Should I live till you receive the Divine Message, I will support you strongly."

Wahyu pertama sendiri telah diakui sebagai sesuatu yang benar adanya. Hal ini telah dimaklumatkan sendiri oleh Waraqah, paman nabi seperti telah disebut diatas.

  • Sahih Bukhari Volume 1, Book 1, Number 2:
    Narrated 'Aisha:
    (the mother of the faithful believers) Al-Harith bin Hisham asked Allah's Apostle "O Allah's Apostle! How is the Divine Inspiration revealed to you?" Allah's Apostle replied, "Sometimes it is (revealed) like the ringing of a bell, this form of Inspiration is the hardest of all and then this state passes ' off after I have grasped what is inspired. Sometimes the Angel comes in the form of a man and talks to me and I grasp whatever he says." 'Aisha added: Verily I saw the Prophet being inspired Divinely on a very cold day and noticed the Sweat dropping from his forehead (as the Inspiration was over).


PENDAPAT MUIR

Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir William Muir dalam bukunya "The Life of Mohammad" supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Qur'an, dan berusaha memperkuat kritiknya.

Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya yang sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:

Sebenarnya apa "Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar biasa hendak menghafal Qur'an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui dari pada Nabi sampai pada waktu mereka membacanya itu."

"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."

"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah menganut Islam, supaya mengajarkan Qur'an dan mendalami agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis mengenai masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."

PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI

"Qur'an sendiripun menentukan adanya itu dalam bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang adanya sebuah naskah Surat ke-20 (Surah Taha) milik saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk Islam tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali, bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang seluruh bangsa Arab."

BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI

"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan demikian juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat; tetap tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah tercatat belaka dalam naskah-naskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an sudah sangat dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup, dengan keyakinan yang luarbiasa bahwa itu adalah kalam Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada beberapa contoh pada kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang terdekat serta penulis-penulis wahyu."

PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA

"Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima - dalam perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar merasa kuatir akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu akan terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat-cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan pengumpulan Qur'an."

"Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Qur'an itu; maka sekarang kumpulkanlah.''

"Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali diluardugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas batu putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada pada lembaran-lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."

"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus, mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya, oleh Umar itu dipercayakan penyimpanannya kepada Hafsha, puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.

"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari langit itu "satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga melihat adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."

MUSHAF USMAN

"Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun tangan. "Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani." Khalifahpun dapat menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam."

"Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Qur'an ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafsha."

PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN

"Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan atas Qur'an itu, sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.

"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain Qur'an yang sampai empatbelas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya dengan Mushhaf Usman."

"Sekarang, sesudah ternyata bahwa Qur'an yang kita baca ialah teks Mushhaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan Mu'awiya dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksud-maksud tertentu yang akan membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar Qur'an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti."

"Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur 'an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca Qur'an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri."

"Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Qur'an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu tidak seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Qur'an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri."

"Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh daerah itu."


MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP

"Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu:"

"Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi disamping putrinya adalah seorang istri dari Muhammad, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya."

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu'min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman."

"Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Qur'an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan."

"Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur'an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat didalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."

"Keempat - Isi dan susunan Qur'an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."

"Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu disamping yang lain."

"Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad."

Penjelasan diatas adalah mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad (p.xiv-xxix). Dengan apa yang sudah dikutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Qur'an yang umat muslimin baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi. Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

MEMBUKTIKAN BAHWA QURAN ADALAH BENAR-BENAR ASLI FIRMAN ALLAH DAN TIDAK BERUBAH ESENSINYA (kalau terjemahannya memang bisa berubah-ubah namun sumbernya (inti kalimat dalam bahasa Arab) tidaklah pernah berubah)

1. Cara membuktikannya adalah dengan melihat nubuat-nubuat dan cerita-cerita dalam Quran bisa dibuktikan apa nggak (selama tidak mengandung unsur mukjizat, misal menghidupkan orang mati)..

2. Cara kedua adalah dengan melakukan tes secara matematis misalnya sebagai berikut:

MATHEMATICAL DESIGN OF THE BASMALLAH , http://64.23.108.103/fakir60/mathematical_design_of_the_basma1.htm

A MIRACLE WITHIN THE MIRACLES OR ONE MORE DECEIT WITHIN THE DECEITS?, http://mostmerciful.com/miracle-or-deceit.htm

Importance of No 19, http://64.23.108.103/fakir60/importanceof19.htm

Prime numbers in quran, http://64.23.108.103/fakir60/prime_numbers_in_the_holy_quran.htm

How would you reply to Rashad Khalifa's number 19 theory, where he removed 2 Noble Verses from the Noble Quran because their references were not multiples of the number 19? , http://64.23.108.103/19.htm

MATHEMATICAL MIRACLE OF THE QURAN, http://64.23.108.103/fakir60/fakir60.htm


Persaksian tentang keaslian Al-Quran

Ibnu Abbas sendiri mengatakan:

Sahih Bukhari Volume 9, Book 92, Number 461:
Narrated Ubaidullah:
Ibn 'Abbas said, "Why do you ask the people of the scripture about anything while your Book (Quran) which has been revealed to Allah's Apostle is newer and the latest?
You read it pure, undistorted and unchanged, and Allah has told you that the people of the scripture (Jews and Christians) changed their scripture and distorted it, and wrote the scripture with their own hands and said, 'It is from Allah,' to sell it for a little gain. Does not the knowledge which has come to you prevent you from asking them about anything? No, by Allah, we have never seen any man from them asking you regarding what has been revealed to you!"

Sebuah pernyataan dan kesaksian dari Ibnu Abbas bahwa Al-Quran tidak mengalami perubahan dalam segi makna dan segi keterpeliharaan materi penyusun awal Al-Quran.

SEJARAH PENULISAN AL QURAN DAN TUDUHAN BAHWA QUR'AN TIDAK VALID PENGUMPULANNYA


Oleh : Faiz


"Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat),yang mulia lagi berbakti" (QS. 80:11-16)

"Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh."
(QS. 85:21-22)

"Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."
(QS. 56:77-80)


Sesungguhnya Allahlah yang menurunkan Al-Quran dan Allah pula yang akan menjaganya. Berkali-kali Allah menegaskan kesucian Al quran dan jaminan akan kemurnian dan keotentikannya, jaminan keaslian Alquran bukanlah sesuatu yang Allah berikan adakadabra, yang turun begitu saja tanpa dipahami oleh akal manusia. Islam tidak pernah mengatakan bahwa seseorang bisa terinspirasi oleh Tuhan dan menuliskan kembali isi kitab yang hilang atau diubah, sebagaimana dipahami oleh orang orang kristen.

Sejarah penulisan wahyu dan penjagaannya amat mudah dipahami oleh akal, Allah tidak pernah memberikan otoritas kepada satu orangpun didunia ini kecuali Muhammad SAW untuk menulis atau mengajarkan Al-Quran, sehingga tidak ada satupun orang didalam Islam yang bisa mengubah seenaknya isi di dalam Al-Quran dengan alasan mendapat petunjuk, ilham atau apapun juga, kecuali Allah telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa Allah menjaga Alquran dengan lintasan sejarah yang gamblang dengan bukti bukti sejarah yang tak terbantahkan serta dengan ilmu yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.


"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (15:9)


Penulisan Al Quran jaman Kenabian

Sejarah mencatat setidaknya ada empat orang sahabat yang diberi otoritas langsung oleh Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu yang diturunkan dengan di diektekan secara langsung oleh Rasulullah SAW.

"Dari Qatadah ia berkata, saya bertanya kepada Anas Ibnu Malik : "Siapa yang mengumpulkan Alquran pada zaman nabi ?, dia berkata : " empat orang, mereka semua dari kaum anshar : Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zayd. (Bukhari, Kitab Fada�ilu�l-Qur�an)

Beberapa orang mengunjungi Zaid bin Tsabit, dan memintanya untuk menceritakan beberapa cerita mengenai Rasulullah. Dia menjawab : " Saya adalah tetangga Rasulullah Saw, dan ketika wahyu datang kepadanya dia memanggilku dan aku datang kepadanya dan aku menuliskannya (wahyu tersebut) untuknya .(Tirmidhi, Mishkat al-Masabih, No. 5823)


Disamping itu banyak sahabat yang juga , menulis sendiri apa yang dia dapat dari Rasulullah SAW.

Rasulullah Saw ketika di madinah mempunyai 48 penulis yang bertugas menulis untuknya (M.M.Azami, Kuttab al-Nabi,Beirut, 1974)

"Dan berkata kepada kami Yahya bin yahya Attamiimy ia mengatakan saya belajar dari malik dari Zaid bin Aslam dar al-Qa 'qaa' bin Hakim dari Abi Yunus pembantu Aisyah dia mengatakan : Aisyah menyuruhku menulis untuknya mushaf dan ia mengatakan jika sudah sampai pada ayat ini maka panggilah saya "Jagalah oleh kalian Sholat-sholat kalian dan shalat pertengahan", maka ketika sudah sampai pada ayat ini aku memanggilnya (Aisyah) dan ia mendiktekannya kepadaku "Jagalah oleh kalian shalat shalat kalian dan shalat pertengahan serta shalat ashar dan berdirilah dengan khusyu", Aisyah mengatakan saya mendengarnya dari Rasulullah SAW"(HR. Muslim)

Penulisan Quran juga tidak berlangsung lama berselang setelah wahyu turun tapi segera Rasul menyuruh untuk menuliskannya, ini untuk menjaga orisinalitas Quran itu sendiri.

"Dari Ubaidullah kepada kami dari musa dari israil dari abi ishaq dari al barraa' ia mengatakan Ketika turun ayat "Tidaklah sama orang-orang yang berdiam diri dari para mukmin dengan mereka yang berjihad dijalan Allah", nabi SAW berkata panggilkan untukku Zaid dengan membawa batu tulis dan tinta serta tulang, atau tulang dan tinta kemudian berkata : Tulislah "Tidaklah sama orang-orang yang berdiam diri dari para mukmin dengan mereka yang berjihad dijalan Allah"
(HR. Bukhari)

Tidak hanya itu Rasulullah juga memerintahkan para sahabat untuk tidak menuliskan sesuatupun yang berasal dari mulut beliau kecuali Alquran.

Berkata kepada kami dari haddaab bin Khaalid al Azdy, berkata kepada kami hammaam dari zaid bin Aslam dar Athaa bin Yasar dar Abi Sa'id Al khudry, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah kalian menulis apa apa dariku, barangsiapa yang menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya, dan berbicaralah tentang diriku dan itu diperbolehkan, dan barangsiapa dengan sengaja berbohong atas diriku maka bersiap siaplah untuk tinggal diatas neraka" (HR. Muslim)

Hal ini menjadi wajar dan amat tepat sebab tidak ada yang bisa menjamin bahwa Hadits dan Al-Quran tidak bercampur aduk satu sama lainnya sehingga untuk mencegah hal ini maka Rasulullah dengan petunjuk Allah melarang penulisan apapun dari Rasul kecuali Al-Quran.


Para penghafal Al-Quran

Selain penulisan Alquran, sejarah keotentikan Al quran juga tidak bisa lepas dari para penghafal Quran, beberapa riwayat dengan jelas dan gamblang menyatakan bahwa banyak sahabat yang menghapal al Quran dan membacanya di hadapan Rasulullah Saw:

Diriwayatkan daripada Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda kepadaku: Bacakan al-Quran kepadaku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, adakah aku harus membacakan al-Quran kepada kamu, sedangkan al-Quran itu diturunkan kepada kamu! Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain. Lantas aku membaca surah An-Nisa' sehinggalah aku sampai pada ayat: Yang bermaksud: Dan kami datangkan kamu (wahai Muhammad) untuk menjadi saksi terhadap mereka (umatmu). Kemudian aku mengangkatkan kepalaku atau secara tiba-tiba seseorang berada di sampingku, ketika itu aku mengangkatkan kepala dan aku melihat baginda mengalirkan air matanya (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi)

Diriwayatkan daripada Abdullah Ibnu Mas'ud r.a katanya: Ketika aku berada di Himis beberapa orang penduduk berkata kepadaku: Bacakan al-Quran kepada kami. Lalu aku membaca Surah Yusuf di hadapan mereka. Abdullah berkata lagi: Lalu salah seorang dari kaum itu berkata: Demi Allah! Bukan demikian ianya diturunkan. Aku mengatakan kepada mereka: Celaka kamu! Demi Allah, Sesungguhnya aku pernah membaca sebegitu di hadapan Rasulullah s.a.w. Baginda berkata kepadaku: Kamu bagus!
(HR. Bukhari-Muslim)

Allah bahkan melalui rasulnya memberikan reward yang amat besar kepada para penghapal Quran sehingga ini menjadi semacam motivator bagi para sahabat untuk berlomba lomba menghapal Al quran.

"Barangsiapa yang menghapal Al Quran, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya"
"Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga diantara manusia, para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah ? Rasul menjawab, "Para ahli Quran dan merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya."
Rasul juga membedakan perlakuan terhadap para penghapal Quran sehingga antara satu dengan yang lainnya derajatnye terletak kepada siapa yang paling baik hapalannya.
(HR. Hakim)

"Adalah nabi mengumpulkan diantara dua orang syuhada uhud kemudian beliau bersabda, " Manakah diantara kedua orang ini yang lebih banyak hapal Al Quran, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya diliang lahat"
(HR. Ahmad)

"Dari Abu hurairah ia berkata, "telah mengutus Rasulullah Saw, sebuah delegasi yang banyak jumlahnya,kemdian Rasul mengetes hapalan mereka, kemudian satu persatu disuruh membaca apa yang sudah dihapal, maka sampailah beliau kepada shahabat yang paling muda usianya, beliau nertanya, "Surat apa yang kau hapal? ia menjawab, "Aku hapal surat ini .... dan surat Al baqarah. "benarkah kau hapal surat Al Baqarah?� , tanya nabi lagi. Shahabat itu lalu, menjawab "Benar". Nabi bersabda, "Berangkatlah kamu dan kamulah pimpin delegasi."
(HR. Bukhari)

Mungkin yang kemudian menjadi pertanyaan bagi kita apakah tidak mungkin seorang penghapal Quran melupakan hapalannya?, sehingga itu mungkin saja berpengaruh kepada proses kodifikasi Al Quran pada zaman Shahabat?.(HR Atturmudzi dan An Nasa'i)

Jawaban dari semua itu adalah Rasulullah sudah berulangkali menegaskan bahwa para penghapal Quran telah diberikan suatu peringatan tentang hapalan mereka yang bisa kemungkinan besar akan menghilang.

"Selalulah kalian bersana Al Quran, Demi jiwa muhammad yang berada ditangan-Nya, sesungguhnya Al Quran itu lebih cepat hilangnya daripada tali onta dalam ikatannya." (HR. Mutafaqun 'alaihi)

Oleh karenanya Rasul selalu mengingatkan bahwa Al Quran tidak saja untuk dihapal, akan tetapi untuk selalu dibaca berulang ulang kali sehingga ia tidak melupakan apa yang dia hapal.


"Apabila penghapal Al Quran itu membacanya pada waktu shalat malam dan siang ia akan selalu mengingatnya, dan jika tidak melakukannya ia akan melupakannya." (HR muslim)

"Alangkah jeleknya orang yang mengatakan :Saya lupa ayat ini dan ayat itu.." tetapi hendaknya ia mengatakan: "Saya telah dilupakan." Dan ingatlah kembali hafal Quran itu (dengan mengulangnya), karena itu ia akan mudah lepas dari dada orang yang menghapalnya daripada hewan yang digembala." (HR. Bukhari)

Dari Abu umamah Ra. Ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw . "Bacalah olehmu Al Quran , sesungguhnya ia akan memberi syafaat pada hari kiamat bagi para pembacanya" (HR. Muslim)

Saking seringnya Rasulullah menyuruh seseorang untuk mengulang bacaannya para sahabat memberi catatan khusus tentang ini diantaranya Ibnu Mas'ud yang berkata:

"Seyogyanya para penghapal Quran dapat diketahui pada waktu malamnya, apabila orang lain sedang tertidur." (Ia berjaga untuk Shalat Tahajud dan membaca Al Quran)

Bahkan Rasul memberi peringatan yang keras bagi para penghapal yang melupakan hapalannya:

"Semua pahala umatku diperlihatkan kepadaku, sampai pahala orang yang membuang kotoran(debu) didalam masjid, dan semua dosa umatku juga akan diperlihatkan kepadaku. Maka aku tidak melihat dosa yang paling besar daripada dosa seseorang yang hapal suatu surat atau ayat Al Quran lalu dia melupakannya" (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Inilah yang kemudian menjadikan Al Quran hidup ditengah kaum muslimin ia hidup bukan hanya didalam kitab kitab yang kemudian hanya dibaca ketika diperlukan akan tetapi ia hidup didalam dada kaum muslimin sehingga tidak sulit bagi kita untuk menemukan para penghapal Quran sejak zaman kenabian hingga sekarang sebagai bukti nyata bahwa Al Quran tidak akan hilang dari peradaban besar kaum muslimin.

Oleh karena banyaknya para penghapal quran maka Ibnu Taimiyah berkata:

"Umat kita tidaklah sama dengan ahli kitab yang tidak mau menghapal kitab suci mereka. Bahkan jikalau seluruh mushaf ditiadakan maka Al Quran tetap tersimpan didalam hati kaum muslimin."

Bahkan tradisi menghapal Quran mempunyai riwayat dan asal usul yang jelas sehingga seorang yang sudah menghapal Quran biasanya mempunyai seorang guru yang membimbingnya dan mengajarinya dalam menghapal Quran, bahkan sang guru biasanya mempunyai sanad yang kemudian bersambung sampai Rasulullah Saw. Sehingga hapalannya tidak menyimpang dari apa yang diajarkan Rasulullah. Sebagai contoh seorang hafidzh Quran dapat dilacak keaslian hapalannya dari sanad yang ia terima, salah satu contohnya adalah sanad yang dipunyai Pimpinan Pesantren Al Munawwariyyah Sudimo-Bululawang-Malang.

H. Muhammad Maftuh Sa'id Malang, Ayahnya H. Muhammad Sa'id Mu'in Gresik, Gurunya Kyai Munawwar Sadayu Gresik, Abdul karim bin Umar al Bari Al Dimyati, Ismail, Ahmad Rasyidi, Mushthafa Al Azimiry, Hijazy, Ali bin Sulaiman Al Mansyuri, Shultom Al Mahzy, Saifudin bin Atho'llah Al Fudhoily, Syahadzah Al Yamany, Nashirudin Al Thoblawy, Zakaria Al Anshory, Ahmad Ashuyuti, muhammad Al Jazry, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al nashri as Syafii, Abi al Hasan bin syuja bin Salim bin Ali bin Musa Al Abbas Al Mashry, Abi Al Qasim As Syathiby, Abi Al Hasan bin Hudzail, Imam bin Daud bin sulaiman bin Naijah, Al Hafidz Abi Umar Al Dany, Abi Al Hasan Al Ashnany, Ubaidilah As Shibagh, Imam Hafsh, Imam Ashim, Abdurahman As Sullamy, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Rasulullah Saw
(Islam Dihujat, Irene Handono, Bima Rodheta, Jakarta)

Bahkan sampai sekarang tradisi menghapal Quran masih terlihat dengan jelas pada pesantran-pesantren, majelis penghapalan Quran seperti terlihat di masjid Al Hikmah Bangka mampang Jakarta Selatan, bahkan sejumlah perguruan tinggi Islam mempersyaratkan hapalan seluruh isi Quran untuk kelulusannya, contoh dalam hal ini adalah Institut Ilmu-ilmu Al Qur�an di daerah Ciputat, Tangerang.


PENULISAN QURAN DIZAMAN ABU BAKAR

Penulisan Al Quran sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Rasulullah Saw, sedangkan Abu bakar hanya sekedar mengumpulkan shuhuf/catatan yang tercecer dan mengumpulkan para Hufadz yang kemudian di salin kedalam bentuk mushaf yang kemudian menjadi induk dari proses penulisan Quran setelahnya.

Berkata kepada kami dari Musa bin Isma'il dari Ibrahim bin Sa'ad, berkata kepada kami dari Ibnu Syihab dari 'Ubaid bin As-Sibaq bahwa Zaid bin Tsabit ra mengatakan : Telah datang kepadaku dari abu bakar shiddiq setelah peperangan di yamamah, kebetulan Umar bin Khattab bersamanya, Abu bakar mengatakan : Sungguh Umar telah datang kepadaku dan berkata : "Peperangan telah menyebabkan kematian beberapa penghapal Al Quran, dan saya sangat khawatir jika kematian meluas kebeberapa Qurra' di daerah daerah hingga menyebabkan hilangnya kebanyakan Al Quran, dan saya berpendapat agar engkau segera memerintahkan kodifikasi atas Al Quran". Saya mengatakan kepada Umar : "bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw ?, Umar berkata : Demi Allah ini adalah sesuatu yang sangat baik", maka Umar tetap memintaku hingga Allah melapangkan dadaku atas hal itu dan aku melihat , masalah itu sebagaimana yang umar lihat ". Zaid Berkata : Bahwa Abu bakar mengatakan : "Sesungguhnya engkau seorang yang masih muda lagi cerdas, bukannya kamu menuduhmu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw, maka cermatilah Al Quran dan lakukanlah kodifikasi ". Maka demi Allah seandainya mereka memerintahkanku memindahkan salah satu dari beberapa gunung tidaklah lebih berat dari perintah kodifikasi Quran. Saya berkata bagaimana mungkin kalian melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?, Berkata Abu Bakar : "Demi Allah inilah yang terbaik". Abu Bakar tetap memintaku hingga Allah melapangkan dadaku untuk dapat memahami pendapat Abu Bakar dan Umar, maka segera kulakukan penelusuran dan pengumpulan Al Quran dari rumput dan pelepah pohon serta hafalan para Qurra', sampai saya temukan akhir dari surat At taubah pada Abu Khuzaimah Al Anshary yang tidak terdapat pada surat yang lainnya, Lembaran-lembaran tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian Umar dan kemudian ditangan Hafsah binti Umar bin Khattab.
(HR. Bukhari)

Jadi proses pengumpulan serta penelusuran Al Quran telah berlangsung di zaman Abu Bakar yang di awasi langsung oleh asisten pribadi Rasul dalam menulis wahyu Zaid bin Tsabit, proses penulisan tidak saja berlangsung dari satu sumber akan tetapi melalui pengecekan yang mengakibatkan keabsahan mushaf Al Quran tersebut tidak dapat diganggu gugat karena telah mencerminkan representasi dari berbagai macam sumber yang dapat dipertanggung jawabkan keakuratannya.

Dalam menjalankan tugasnya Zaid bin Tsabit mempunyai pedoman dalam menentukan keotentikan dalam menentukan suatu naskah artinya ada beberapa faktor yang harus dipenuhi apabila suatu teks bisa dimasukkan sebagai bagian dari Al Quran atau bukan. Penelitian keabsahan suatu teks harus memenuhi syarat-syarat yang Rasulullah ajarkan diantarannya adalah.


1. Materi tersebut harus benar benar tertulis dalam keadaan Rasulullah Saw hadir ketika penulisan Quran itu berlangsung. Tidak ada satupun materi yang ditulis setelah Rasulullah, dan ditulis sendiri oleh sahabat bisa diterima.

Hal ini dapat dimengerti sebab tidak tertutup kemungkinan adanya pencampuran antara Al Quran dan Hadits dalam ingatan para sahabat jika hanya mengandalkan hapalan. Oleh karenanya keberadaan teks dalam bentuk tertulis sangat dibutuhkan.

Berkata kepada kami dari haddaab bin Khaalid al Azdy, berkata kepada kami hammaam dari zaid bin Aslam dar Athaa bin Yasar dar Abi Sa'id Al khudry, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "janganlah kalian menulis apa apa dariku, barangsiapa yang menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya, dan berbicaralah tentang diriku dan itu diperbolehkan, dan barangsiapa dengan sengaja berbohong atas diriku maka bersiap siaplah untuk tinggal diatas neraka" (HR. Muslim)

Zayd ibn Ts�bit berkata: �Kami mencatat Alquran dihadapan Rasul saw. diatas lembaran kulit atau kertas" (HR. Alhakim)

Rasulullah telah memberikan petunjuk bahwa Al Quran adalah satu satunya materi yang diperintahkan untuk ditulis. Sehingga keberadaan teks Quran dalam bentuk materi tulisan adalah suatu hal yang niscaya.

Pendapat ini juga dibenarkan Al Hakim : "menurut pendapat dua imam (Bukhari dan Muslim) tradisi ini selalu dilakukan, sekalipun mereka tidak menyebutkannya .( Muhammad b. ' Abd Allah al-Hakim al-Nisapiuri, Al-Mustadrak 'ala al-Sahihayn fi al-Hadith wa fi Dhaylihi Talkhis al-Mustadrak, 4 vols. (Riyadh: Maktabat wa Matba'at al-Nasr al-Hadithah, n.d.), vol. 2, p. 611)

Quran telah diturunkan pada priode 23 tahun dan telah ditulis semuanya pada saat Rasulullah masih hidup, sekalipun ayat ayat tersebut tidak disatukan dalam satu mushaf pada saat itu .

Adalah kebiasaan Rasulullah Saw untuk meminta penulis wahyu untuk membaca kembali ayat tersebut setelah menuliskannya, menurut Zaid bin Tsabit, jika ada kesalahan dari penulisan dia membetulkannya, setelah selesai barulah Rasulullah Saw membolehkan menyebarkan ayat tersebut.


Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan : ` Umar datang lalu berkata: `Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Qur`an, hendaklah ia menyampaikannya.` Mereka menuliskan Qur`an itu pada lembaran kertas , papan kayu dan pelepah kurma. (Al-Katani, V.2, p.384)

2. Materi tulisan tersebut harus dikonfirmasikan oleh dua orang saksi, mereka harus bersaksi telah bahwa mereka telah mendengar teks tersebut dari Rasulullah Saw sendiri .

Al Quran adalah sesuatu yang mutawatir, sebab Al Quran itu sendiri merupakan Wahyu dari Allah yang harus disampaikan.

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 3:164)

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. 4:170)

Maka bagaimana mungkin hanya satu orang saja yang mendengarkan ayat yang Allah turunkan?, dari logika ini saja dapat dikatakan amat tidak mungkin bila ada seseorang yang seorang diri saja mendengar dan bersaksi bahwa ia telah mendengar ayat ini dan ayat itu tanpa sahabat lain mendengarnya secara langsung. Bagaimanapun juga percampuran antara hadits dengan Quran bisa terjadi bila hal itu hanya diingat oleh hanya satu orang.

Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 524:
Narrated 'Abdullah (bin Mas'ud) :
By Allah other than Whom none has the right to be worshipped!
There is no Sura revealed in Allah's Book but I know at what place it was revealed; and there is no Verse revealed in Allah's Book but I know about whom

Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 521:
Narrated Masriq:
'Abdullah bin 'Amr mentioned 'Abdullah bin Masud and said, "I shall ever love that man, for
I heard the Prophet saying, 'Take (learn) the Qur'an from four: 'Abdullah bin Masud, Salim, Mu'adh and Ubai bin Ka'b.' "

Inilah yang kemudian mengharuskan Zaid bin Tsabit mencari ayat terakhir dari surat At Taubah pada sahabat lainnya sebab dia sendiri harus memenuhi persyaratan ini, walaupun ia sendiri telah menghapal Al Quran.

Zaid bin Tsabit telah menghapal seluruh Al Quran kedalam ingatannya (Labib as-Said, The Recited Koran, tr. Bernard Weiss, et al., 1975, p. 21)

"Sampai saya temukan akhir dari surat At taubah pada Abu Khuzaimah Al Anshary yang tidak terdapat pada surat yang lainnya" (Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 509)

Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: `Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah yang dimaksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur`an diturunkan "(HR. Bukhari)


Proses Kodifikasi Quran Pada Zaman Utsman

Berkata kepada kami Musa, berkata kepada kami ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: "khuzaifah bin Al yaman datang kepada Utsman, dan sebelumnya ia memerangi warga syam dalam menaklukan Armenia dan Azarbaizan bersama warga irak, maka terkejutlah Khuzaifah akan adanya pebedaan mereka dalam hal perbedaan Al Qur'an, maka berkatalah Khuzaifah kepada Utsman : "Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani", Utsman lalu berkirim surat kepada Hafsah : "Kirimkan kepada kami lembaran lembaran untuk kami tulis dalam Masahif ( bentuk plural dari Mushaf ), kemudian kami kembalikan kepadamu", Hafsah segera mengirimkannya kepada Utsman, maka Utsman segera memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdulah bin Zubair, Sa'id bin A'sh, serta Abdurahman bin Al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya kedalam mushaf-mushaf, dan dia (Utsman) mengatakan kepada ketiga otoritas Qurasy tersebut diatas : "Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah Quran maka tulislah Al Quran dengan lisan Qurasy sebab Al Quran diturunkan dengan dialek mereka". dan mereka melakukan hal itu, maka ketika mereka selesai menyalin lembaran lembaran kedalam beberapa Mushaf, Utsman segera mengembalikan lembaran lembaran tersebut kepada Hafsah, kemudian mengirim ketiap tempat satu Mushaf yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar selain Mushaf tersebut entah berupa lembaran sahifah atau sudah berupa mushaf untuk dibakar (HR Bukhari)

"Kalimat huzaifah bin Al yaman yang menyatakan : "Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani"
Sebenarnya adalah persoalan awal kenapa terjadi kodifikasi lanjutan dizaman Utsman, jika pada awalnya kodifikasi Quran dimaksudkan untuk mencegah hilangnya Al Quran sebab banyak para penghapal Quran yang meninggal dalam peperangan, maka dizaman khalifah Utsman maka persoalannya menjadi berbeda, oleh karenanya akan sangat dapat dipahami sikap Utsman yang kemudian menjadikan mushaf induk yang telah ada pada zaman khalifah Abu bakar menjadi rujukan utama bagi setiap perbedaan mengenai Al Quran.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa terjadi perbedaan dan bukankah perbedaan itu sendiri di perbolehkan oleh Rasulullah Saw?, jawaban yang dapat kita analisis pada kasus ini adalah bahwa ada beberapa fakta yang menyebabkan hal itu terjadi:

1. Yang dimaksud oleh Hudzaifah ini adalah perbedaan mengenai Quran yang mempengaruhi makna ayat hal ini yang kemudian menyebabkan ia menjadi kaget, "dan sebelumnya ia memerangi warga Syam dalam menaklukan Armenia dan Azarbaizan bersama warga Irak, maka terkejutlah Huzaifah akan adanya pebedaan mereka dalam hal perbedaan Al Qur'an. Harus kita fahami bahwa sahabat sudah banyak yang mahfum mengenai qiraah saba'ah namun yang dimaksud Hudzifah disini adalah perbedaan qiraat yang menyebabkan perbedaan makna inilah yang kemudian dipermasalahkan olehnya.

2. Perbedaan Qiraat yang menyebabkan perbedaan makna memang sejak awal dicurigai ada dikarenakan adanya pengaruh Qiraat dari negeri-negeri yang merupakan hasil ekspansi dari dakwah Islam, yang menyebabkan keotentikan Qiraat menjadi dipertanyakan, sebab percampuran antara qiraat satu dengan yang lainnya menjadi suatu hal yang niscaya. hal ini yang kemudian menyebabkan berkembangnya qiraat yang walaupun menisbatkan dirinya kepada para sahabat akan tetapi justru menyimpang jauh dari apa yang kemudian diajarkan para sahabat bukti otentik dari hal ini adalah kesaksian beberapa tabiin tentang mushaf yang di nisbatkan kepada Ibnu Mas'ud. Ibnu Ishaq misalnya yang meneliti beberapa mushaf yang dinisbatkan kepada Ibnu Mas'ud tidak menemukan satupun redaksional masing masing mushaf yang sama persis satu dengan yang lainnya, Demikian pula Ibnu al-Nad�m dalam al-Fihritsnya bahwa ia melihat sebuah salinan mushaf Ibnu Mas��d yang terdapat di dalamnya, surah al-F�tihah berbeda dengan keyakinan beberapa orang bahwa beliau tidak mencantumkannya dalam mushafnya .(Muhammad �Abd All�h Dir�z, Madkhal il� al-Qur`�n al-Kar�m. Kuwait: D�r al-Qalam, 1993, cet. II, hal 44-45)

Sekali lagi berkembangnya bacaan yang diyakini bersumber dari bacaan Rasulullah yang tanpa mempunyai bentuk fisik materi dalam bentuk tulisanlah yang kemudian menjadi biang keladi munculnya penyimpangan bacaan yang berimplikasi pada makna tersebut .Hal ini membuktikan kepada kita bahwa banyak sekali perbedaan yang disebabkan ketidak jelasan sumber dikarenakan interaksi qiraat yang memang rasulullah ajarkan dengan qiraat yang menjadi kebudayaan bangsa bangsa yang baru masuk kedalam daerah kekuasaan Islam.

3. Disamping berita dari Huzaifah sebenarnya Utsman juga khawatir akan perbedaan bacaan yang kemudian berakibat pada perpecahan umat dan pengkafiran satu sama lainnya. Ibn Jarir : `Ya`kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn `Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: pada masa kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.` Kata A yyub: aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: `sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,` dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: `Kalian yang ada dihadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur`an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur`an pedoman) saja ! (Ibn 'Abd al-Muttaqi, Muntakhab Kanz al- 'Ummal in the margin of Ibn Hanbal, Musnad, vol. 2)


Pertanyaan kedua adalah mengapa Utsman menggunakan logat Quraisy ?, "Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah Quran maka tulislah Al Quran dengan lisan Quraisy sebab Al Quran diturunkan dengan dialek mereka". Bukankah Rasul sendiri telah membolehkan Al Quran ditulis dalam tujuh harf?

Diriwayatkan daripada Umar bin al-Khattab r.a katanya: Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah al-Furqan tidak sama dengan bacaanku yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w kepadaku. Hampir-hampir aku mencela beliau ketika masih dalam pembacaannya. Namun aku masih dapat menahan kemarahanku ketika itu. Setelah selesai aku mendekati Hisyam lalu ku pegang kain serbannya. Kemudian aku mengajaknya menghadap Rasulullah s.a.w. Aku berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya tadi aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan tidak sebagaimana yang kamu bacakan kepadaku. Rasulullah s.a.w bersabda: Suruhlah dia membacanya sekali lagi. Hisyam pun memenuhi permintaan Rasulullah s.a.w tersebut. Dia membaca sebagaimana sebelumnya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Memang demikianlah surah itu diturunkan. Kemudian baginda menyuruhku pula: Bacalah! Aku pun membacanya. Baginda pun bersabda: Demikianlah surah itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf (kaedah bacaan) maka kamu bacalah yang mudah bagi kamu (HR. Bukhari)

Betul Rasulullah telah memperbolehkan tujuh bacaan adalam penulisan dan pembacaan Al quran, akan tetapi itu sebatas kompensasi yang beliau pinta kepada Allah Azza Wa Jalla. Sebab awalnya memang Al Quran turun hanya pada satu bacaan yaitu bacaan Quraisy (Sahih Bukhari, Volume 6, Book 61, Number 507):

Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Jibril a.s pernah membacakan kepadaku dengan satu bacaan. Aku minta supaya dia mengulangi bacaannya itu, selalu juga aku minta supaya dia menambahnya dan permintaanku itu dipenuhi hinggalah berakhir dengan tujuh bacaan (HR. Bukhari-Muslim) --- (lihat Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 513).

Dari Ubay bin Kaab mengatakan : Rasulullah bertemu dengan Jibril, maka beliau berkata: "
Wahai Jibril sesungguhnya saya diutus kepada kaum yang buta huruf. diantara mereka ada orang tua dan sudah uzur, anak-anak, wanita hamba sahaya, serta orang-orang yang tidak pernah membaca buku sama sekali", Jibril berkata: "Wahai Muhammad sesungguhnya Al Qur'an diturunkan atas tujuh macam huruf(HR. Ibnu Majah)

Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 514:
Narrated 'Umar bin Al-Khattab:
I heard Hisham bin Hakim reciting Surat Al-Furqan during the lifetime of Allah's Apostle and I listened to his recitation and noticed that he recited in several different ways which Allah's Apostle had not taught me. I was about to jump over him during his prayer, but I controlled my temper, and when he had completed his prayer, I put his upper garment around his neck and seized him by it and said, "Who taught you this Sura which I heard you reciting?" He replied, "Allah's Apostle taught it to me." I said, "You have told a lie, for Allah's Apostle has taught it to me in a different way from yours." So I dragged him to Allah's Apostle and said (to Allah's Apostle), "I heard this person reciting Surat Al-Furqan in a way which you haven't taught me!" On that Allah's Apostle said, "Release him, (O 'Umar!) Recite, O Hisham!" Then he recited in the same way as I heard him reciting. Then Allah's Apostle said, "It was revealed in this way," and added, "Recite, O 'Umar!" I recited it as he had taught me. Allah's Apostle then said, "It was revealed in this way.
This Qur'an has been revealed to be recited in seven different ways, so recite of it whichever (way) is easier for you (or read as much of it as may be easy for you)."

Ini berarti bahwa tujuh macam dialek diturunkan atas permintaan Rasul Saw. Dari Hadits diatas jelas dinyatakan bahwa Al Quran memang diturunkan awalnya dalam dialek Quraisy.

Sahih Bukhari Volume 6, Book 61, Number 512:
Narrated Al-Bara:
There was revealed: 'Not equal are those believers who sit (at home) and those who strive and fight in the Cause of Allah.' (4.95) The Prophet said, "Call Zaid for me and let him bring the board, the inkpot and the scapula bone (or the scapula bone and the ink pot)."' Then he said, "Write: 'Not equal are those Believers who sit..",
and at that time 'Amr bin Um Maktum, the blind man was sitting behind the Prophet . He said, "O Allah's Apostle! What is your order For me (as regards the above Verse) as I am a blind man?" So, instead of the above Verse, the following Verse was revealed: 'Not equal are those believers who sit (at home) except those who are disabled (by injury or are blind or lame etc.) and those who strive and fight in the cause of Allah.' (4.95)

Dalam narasi hadis diatas ditunjukkan bahwa seorang butapun (pada masa-masa belum terkompilasinya Al-Quran) ternyata memilki dialek Quran tersendiri. Namun akhirnya dialek-dialek ini disatukan kembali pada masa pemerintahan kalifah Utsman.

Sahih Bukari Volume 6, Book 61, Number 507:
Narrated Anas bin Malik:
(The Caliph 'Uthman ordered Zaid bin Thabit, Said bin Al-As, 'Abdullah bin Az-Zubair and 'Abdur-Rahman bin Al-Harith bin Hisham to write the Quran in the form of a book (Mushafs) and said to them. "
In case you disagree with Zaid bin Thabit (Al-Ansari) regarding any dialectic Arabic utterance of the Quran, then write it in the dialect of Quraish, for the Quran was revealed in this dialect." So they did it.

Pertanyaan ketiga apakah para sahabat telah menyetujui pendapat Utsman tersebut hingga tidak mendapat pertentangan yang keras dari para sahabat ?. Perintah Utsman agar kaum muslimin hanya menggunakan satu bacaan saja merupakan ijtihad yang amat diperlukan mengingat pertentangan yang akan membesar jika hal tersebut tetap dibiarkan.

Suwaid bin Gaflah berkata: `Ali mengatakan: `Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur`an sudah atas persetujuan kami. (Fathul bahri)

Riwayat diatas menunjukkan bahwa langkah Utsman telah mendapat persetujuan dari para sahabat Hal ini diperkuat dengan riwayat riwayat lainnya yang mengatakan bahwa langkah Utsman adalah tepat dan mendapat persetujuan dari mayoritas kaum muslimin pada masa itu.

Ali berkata jika aku berada di tempat Utsman sekarang maka aku akan melakukan hal yang sama. (Al-Hadis)

Musab ibnu Sa'ad ibnu Waqqas berkata: "Aku melihat orang-orang berkumpul dalam jumlah yang besar ketika Utsman melakukan pembakaran Quran, dan mereka terlihat senang dengan tindakannya, dan tidak ada satupun yang berbicara menentangnya (HR. Abu Dawud)

Satu-satunya penolakan yang ada adalah dari Abdullah bin Mas'ud yang menolak untuk membakar mushaf yang dimiliki olehnya dengan mengatakan :

Bagaimana mungkin kalian menyuruhku membaca qiraat Zayd. Ketika Zayd masih kecil bermain dengan kawan sebayanya saya telah menghafal lebih dari tujuh puluh surah langsung dari lisan Rasulullah (Ibn Abi Da'ud, Kitab a-Masahif)

Yang menarik dari riwayat ini adalah kita sama sekali tidak melihat satupun riwayat Utsman untuk memaksa Abdullah bin Mas'ud untuk menyerahkan Mushafnya, ini sekaligus memperlihatkan kebijaksanaan Utsman yang kemudian mematahkan tuduhan bahwa Utsman bersikap Aristrokat seperti yang dikatakan Robert Morey, padahal Abu Dawud juga meriwayatkan Abdullah bin Mas'ud mengumumkan kepada pengikutnya (orang-orang yang memegang mushaf Ibnu Masud) untuk tidak menyerahkan Mushaf mereka. Bahkan yang terjadi adalah semua orang mengikuti perintah Utsman untuk membakar Salinan Mushaf miliknya.

Musab ibnu Sa'ad ibnu Waqqas berkata: "Aku melihat orang-orang berkumpul dalam jumlah yang besar ketika Utsman melakukan pembakaran Quran, dan mereka terlihat senang dengan tindakannya, dan tidak ada satupun yang berbicara menentangnya
(HR. Abu Dawud)

Perkataan "Terlihat senang dengan tindakannya " menunjukkan tidak adanya pemaksaan atau ancaman atas tindakan yang menentang perintah tersebut, tidak ada satupun riwayat yang menyatakan adanya seseorang yang dhukum atas tindakan penentangan terhadap perintah Utsman.

Bahkan berulang kali Utsman menegaskan bahwa dia tidak menolak bacaan bacaan Quran yang berlangsung secara oral yang dia ingin satukan adalah bacaan dalam bentuk tertulis untuk menghindari perpecahan dan penyimpangan makna.

�Adapun Alquran, saya tidak akan menghalangi kalian, hanya saja saya khawatir bila terjadi perpecahan di antara kalian (sebab perbedaan bacaan Alquran) dan silakan kalian membaca (Alquran) dengan harf yang menurut kalian mudah�. (Muhammad �Abd All�h Dir�z, op.cit. 42)

Kemudahan yang diberikan Utsman inilah yang kemudian menyebabkan kita dapat menemukan bacaan-bacaan yang bersumber dari Rasulullah Saw walaupun hanya berpegang pada riwayat ahad. hal inilah yang kemudian memberikan bukti kepada kita semua bahwa Allah Azza Wajalla yang menurunkan Al Quran dan Dialah yang akan menjaganya.