Selasa, 15 Juni 2010

Sejarah Singkat Penulisan ALQUR'AN

Orang-orang yang skeptis terhadap Islam di dalam artikel mereka telah membuat dakwaan bahawa al-Qur’an adalah tidak sempurna pengumpulannya.

Setelah meneliti secara sepintas lalu artikel tersebut, didapati semua itu hanyalah dendam dan dengki musuh-musuh Islam terhadap Islam.
Dalam usaha menyangkal tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam itu, selain dari mengguna-pakai hujah-hujah para ulama Islam,
kita juga boleh menggunakan hujah sesetengah orientalis Barat yang mengkaji perkara ini dan mengakui kebenarannya. Barangkali dengan ini, hujah musuh-musuh Islam lebih senang disangkal. Sebelum itu, perlu diingatkan tidak semua Orientalis mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk menghina Islam. Ada juga mereka yang mengkaji dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Hal ini memang telah terbukti.

Berhubung masalah yang dikemukakan di atas, kita mengambil apa yang telah ditulis oleh Sir William Muir dalam “The Life of Mohammad”, supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan al-Qur’an itu dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut agama Kristian yang teguh dan juga berdakyah untuk agamanya. Walaupun ia seorang orientalis, dia tidak membiarkan setiap orang mengambil kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi s.a.w. dan al-Qur’an.

Ketika berbicara tentang Qur’an, Sir William Muir menulis seperti berikut:

“Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bahagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunnah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunnah pertama yang sudah merupakan konsensi. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu penghafal al-Qur’an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Ada di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudahkan pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima al-Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemahuan yang luar biasa hendak menghafal al-Qur’an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui daripada Nabi sehingga waktu mereka membacanya itu”

Sebab Dituliskannya al-Qur’an

Semasa Sayyidina Usman bin Affan menjadi Khalifah pengaruh Islam telah berkembang luas. Islam telah sampai ke Afrika Utara di barat dan hingga ke Azarbaijan di timur. Ini bermakna telah begitu ramai orang yang bukan Arab memeluk Islam. Keadaan ini memerlukan ramai guru yang boleh membaca al-Qur’an dan memahami Islam dengan baik untuk mengajar orang yang baru memeluk Islam. Beberapa orang sahabat telah dihantar ke tempat-tempat tertentu untuk mengajar al-Qur’an.

Masing-masing tempat membaca al-Qur’an mengikut bacaan sahabat yang mengajar mereka. Dengan ini timbul sedikit perbedaan dari segi bacaan dan sebutan huruf al-Qur’an di antara tempat-tempat tersebut. Di Sham contohnya, mereka membaca mengikut bacaan Abdullah bin Mas’ud. Di tempat lain pula membaca mengikut bacaan Abu Musa al-‘Asya’ariy.

Keadaan ini hampir-hampir menyebabkan berlaku permusuhan dan persengketaan di antara saudara-saudara baru Islam. Masing-masing mengatakan bacaannya yang betul menyalahkan orang lain. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yaman yang bersama-sama dengan orang Sham dan Iraq dalam peperangan di Armenia dan Azarbaijan melihat sendiri keadaan itu. Sekembalinya ke Madinah, beliau terus pergi berjumpa Khalifah Usman bin Affan dan menceritakan hal tersebut.

Beliau mengusulkan agar khalifah menulis semula al-Qur’an dalam beberapa naskah untuk dihantar ke negeria-negeri Islam supaya semua orang dapat membaca al-Quran dengan satu cara yang sama. Khalifah setuju dengan cara itu dan seterusnya memerintahkan panitia untuk menulis al-Qur’an. Al-Qur’an yang ditulis semula inilah yang dinamakan Mushaf Uthmaniy.

Sederhananya, sebab al-Qur’an ditulis awalnya ialah untuk menyelamatkan umat Islam dan juga al-Qur’an itu sendiri. Selain itu bertujuan agar semua orang Islam membaca al-Quran dengan satu cara bacaan saja, melainkan bagi orang-orang yang belajar membaca al-Qur’an dengan Tujuh Huruf, maka mereka boleh membacanya dengan berbagai-bagai Qira’at dengan syarat-syarat dan kaedah-kaedah tertentu.

Persatuan Islam Zaman Usman

Maka yang sampai kepada kita adalah sekarang adalah Mushaf Usman. Begitu cermat penjagaan al-Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati – bahkan memang tidak kita dapati – perbedaan apapun daripada naskah-naskah yang tidak terhitung banyaknya, yang tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam yang luas ini. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri – seperempat abad kemudian sesudah Rasulullah wafat – telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam – dan memang demikian adanya – namun al-Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi al-Qur’an bagi semuanya.

Demikianlah Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah dan usaha murni Sayyidina ‘Usman bin Affan.

Dalam sejarhnya memang benar , bahwa Syi’ah kemudian menuduh bahawa Usman mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara golongan Mu’awiyah dan golongan Ali belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tidak akan motif-motif tertentu yang akan mendorong Usman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu. Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal al-Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan mushaf itu.

Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang cukup banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk mendukung usaha menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali baru berdiri sendiri sesudah kepemimpinan Usman berahkir, dan mengangkat Ali sebagai penggantinya. Dapatkah diterima akal — pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan — bahwa mereka akan menerima al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahawa ada beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.

Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahawa Mushaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpancar-pancar di seluruh daerah itu.

Mushaf Usman Cermat Dan Lengkap

Sesungguhnya begitu, masih ada suatu persoalan penting yaitu apakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw?

Pertama : Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakar al-Siddiq. Sedangkan Abu Bakar seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Dia juga adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber al-Qur’an; orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama 20 tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafah dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala buruk. Ia beriman bahwa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafahnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tidak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tiada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah.

Dalam al-Qur’an terdapat peringatan-peringatan bagi siapapun yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas fikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.

Kedua : Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Rasulullah wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada sekumpulan ahli-ahli al-Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam untuk melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalami ilmu agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu penghubung antara wahyu yang dibaca Rasulullah pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf itu, tapi juga mempunyai segala kerjasama yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.

Ketiga : Kita juga mempunyai jaminan yang lebih kuat dipercayai tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bahagian-bahagian al-Qur’an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Nabi Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan al-Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya.

Maka amat logis kita mengambil kesimpulan bahwa semua yang terkandung dalam bahagian itu, sudah mencakupi. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah sengaja membuang sesuatu bahagian, atau sesuatu ayat, atau kalimat, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Dalam arti kata lain, dalam Mushaf Usman tidak ada sesuatu yang diabaikan, sekalipun yang kurang penting.

Keempat : Isi dan susunan al-Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bahagian-bahagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat. Tiada tangan yang mencoba mengubah atau memperlihatkan kebolehannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penulis dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani mengambil ayat-ayat suci itu melebihi daripada yang apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.

Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah bahwa Mushaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan — seperti beberapa kejadian menunjukkan — penghimpunnya tidak bermaksud mengabai apa pun dari wahyu itu. Kita juga dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari al-Qur’an itu, memang sangat teliti sekali seperti yang dibaca oleh Nabi Muhammad.

Inilah pandangan Sir William Muir seperti yang disebut dalam kata pengantar “The Life of Mohammad” (m.s. xiv-xxix). Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebut tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sependapat. Secara positif, mereka memastikan tentang persisnya al-Qur’an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahawa semua yang dibaca oleh Nabi Muhammad s.a.w adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Allah Swt.

Kalau ada sebagian kecil kaum Orientalis atau Kristian berpendapat lain dan beranggapan bahawa al-Qur’an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan oleh Muir tadi dan sebahagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad Saw.

Betapa pandainya si pengkritik menyusun tuduhannya, namun mereka tidak akan dapat menafikan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan cara ini, mereka tidak akan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terhasut oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar